Minggu, 28 Februari 2010

Dilemma Turki: Hubungan Sipil-Militer Turki memburuk


Awal pekan lalu Turki kembali dilanda krisis politik karena adanya ketegangan antara Sipil dan Militer dalam kehidupan politik di Turki. Turki adalah negara yang termasuk menganut demokrasi, namun selama pemerintahan Turki modern dibawah Mustafa Kemal Atatürk, militer memiliki peran yang cukup penting dalam sistem pemerintahan Turki. Militer Turki selama ini berperan sebagai penjaga sistem sekuler yang selama ini dianut oleh Turki sehingga peran militer cukup diperhitungkan dalam kehidupan politik di Turki. Namun akibat hubungan tersebut, Turki masih terus dibayangi oleh akan potensi terjadinya konflik antara Sipil-Militer seperti yang terjadi awal pekan lalu. Awal pekan lalu, pengadilan Turki menahan 49 perwira tinggi, termasuk Panglima Angkatan Udara dan Angkatan Laut serta sejumlah jenderal senior atas tuduhan terlibat dalam kelompok kudeta pada tahun 2003. Penahan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut berdampak besar terhadap guncangan hebat yang terjadi antara Sipil-Militer ataupun pemerintah dan pihak oposisi.

Sebenernya ketegangan bisa dikendalikan ketika pimpinan sipil dan militer sepakat menangguhkan penahanan atas Panglima AU dan AL dengan alasan kedua jenderal diyakini tidak akan melarikan diri. Namun, ketegangan kembali memuncak pasca keputusan pengadilan untuk menahan lagi 11 perwira tinggi termasuk beberapa jenderal. Dengan demikian total perwira yang ditahan mencapai 31 orang.

Ketegangan politik semakin berdampak besar dimana pihak oposisi mendorong untuk dilakukannya percepatan pemilu, namun pemerintahan Erdogan menolak dengan asumsi bahwa secara demokrasi militer harus tunduk kepada pemerintahan Sipil. Ketegangan ini semakin menarik untuk disimak karena dalam sejarah Turki, pihak militer telah berhasil melakukan dua kali kudeta yakni pada tahun 1960 dan 1997 dengan alasan sekulerisasi.

Ketegangan politik ini kembali mengisyaratkan bahwa Turki kembali sedang mengalami kondisi yang sangat dilematis. Disatu sisi, pihak militer yang mengemban tugas penting dari pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk untuk menjaga sekuler agar tetap dianut di Turki. Namun disisi lain, pemerintah sipil yang saat ini dipimpin oleh partai yang berhaluan agamis mulai mengarah terhadap keinginan untuk mengadopsi aspirasi rakyat untuk menerapkan dasar agama kembali pada sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Sepertinya pihak militer-sipil harus kembali ke meja perundingan untuk menghasilkan kesepakatan politik agar ketegangan bisa kembali meredah karena bukan tidak mungkin Turki akan kembali mengalami krisis politik apabila pihak militer kembali ingin melakukan upaya kudeta.

Rabu, 23 Desember 2009

Indonesia Dalam Open Sky Policy ASEAN

Berdasarkan kesepakatan dalam The ASEAN Air Transport Working Group: The Roadmap For The Integration of ASEAN: Competitive Air Services Policy, negara-negara Asean sepakat membuka wilayah udara mereka untuk penerbangan komersil, secara bertahap mulai tahun 2010 hingga 2015. Para Menteri Perhubungan negara ASEAN sepakat meneken kesepakatan itu pada saat Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-9 di Myanmar pada Oktober 2003. Untuk mewujudkan integrasi ASEAN pada 2015, negara-negara ASEAN sepakat melakukan tahapan liberalisasi udara ASEAN mulai tahun 2010 sampai secara penuh untuk penumpang dan barang pada tahun 2015. Pada tahap awal, open sky berlaku untuk kargo yang mulai berjalan 2010. Selanjutnya secara bertahap untuk pesawat penumpang.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia sudah siap untuk melaksanakan open sky policy tersebut mengingat kondisi penerbangan Indonesia yang masih sangat buruk. Nantinya apabila negara-negara ASEAN sepakat melaksanakan open sky policy maka setiap maskapai penerbangan setiap negara ASEAN bebas mengangkut dan menurunkan penumpang di bandara manapun di wilayah ASEAN. Sebenarnya kebijakan itu sangat menguntungkan, tetapi bagi negara yang memiliki maskapai penerbangan dan bandara serta fasilitas penerbangan yang memadai. Coba kita bandingkan kondisi penerbangan Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia memiliki 26 bandara internasional, Malaysia 6 buah, dan Singapura cuma memiliki 1 bandara internasional. Hal tersebut menandakan bahwa secara logika Indonesia lah yang paling dirugikan karena wilayah penerbangan dan potensi pasarnya lebih dibuka luas untuk negara lain. Analoginya adalah MAS atau Singapore Airlines bisa mengangkut dan menurunkan penumpang di 26 bandara di Indonesia, sedangkan Garuda Indonesia hanya bisa mengangkut dan menurunkan penumpang di 6 bandara di Malaysia dan 1 bandara di Singapura, itu akan merugikan negara kita apalagi Indonesia memiliki pasar yang paling potensial dengan jumlah penduduk terbanyak.

Dari segi kesiapan maskapai lokal Indonesia, saya rasa kita belum siap. Maskapai penerbangan Indonesia masih sangat tertinggal jauh dari maskapai milik Malaysia maupun Singapura. Dari segi pelayanan, kenyamanan, apalagi keselamatan, maskapai Indonesia sangat tertinggal jauh. Apabila maskapai Indonesia tidak siap maka kebijakan open sky policy akan menyebabkan pangsa pasar diambil oleh maskapai negara lain, bisa Malaysia Airlines, Singapore Airlines, atau Thai Airways yang memiliki track record yang sangat baik dari segi pelayanannya. Dengan demikian, ancaman pun akan terjadi bagi industri penerbangan kita karena persaingan akan sangat ketat. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar merupakan pangsa pasar potensial bagi maskapai penerbangan negara lain.

Sebenarnya Open Sky Policy sangat menguntungkan karena masyarakat ASEAN akan mudah apabila ingin melakukan mobilisasi dan integrasi Masyarakat ASEAN pun akan semakin kuat karena mudahnya mobilisasi manusia dan barang. Masyarakat Indonesia akan mudah untuk mencari maskapai penerbangan apabila ingin pergi ke Filipina, Vietnam, bahkan Kamboja dan negara-negara ASEAN lainnya apabila kebijakan open sky policy ini terlaksana. Namun yang perlu dilakukan agar negara tidak dirugikan oleh kebijakan ini adalah memperkuat dunia penerbangan dalam negeri. Pemerintah harus memperbaiki industri penerbangan dalam negeri, maskapai domestik harus dikuatkan, pelayanan dan keselamatan harus diperkuat agar tetap mampu bersaing dengan maskapai negara ASEAN lainnya, karena apabila tidak Indonesia akan tergilas habis oleh liberalisasi ini.

Dunia Penerbangan Indonesia Tahun 2009

Dari tahun ke tahun perkembangan dunia penerbangan di Indonesia semakin maju, khususnya dalam bisnis airline. Sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia adalah pasar potensial bagi bisnis penerbangan. Tidak mengherankan saat ini Indonesia memiliki jumlah airline yang cukup banyak, lebih dari 10 airline dari airline yang besar hingga perintis.
Memasuki tahun 2009, dunia penerbangan Indonesia semakin cerah. Hal itu dikarenakan pengesahan UU Penerbangan No.1 Tahun 2009 revisi dari UU. No.15/1992 oleh DPR. Dengan demikian para pemegang peranana industri penerbangan Indonesia sudah mempunyai rambu-rambu atau peraturan-peraturan sebagai pilar untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada. Secara langsung, UU Penerbangan tersebut menaikkan kepercayaan masyarakat baik domestik maupun internasional terhadap dunia penerbangan Indonesia. Selain pengawasan yang dilakukan regulator semakin ketat, isi dari UU tersebut lebih banyak menyoroti tentang safety dan security yang selama ini dituntut oleh mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan kemajuan serius dalam upaya meningkatkan keselamatan dan keamanan bidang penerbangan udara. Indonesia kini telah mampu memenuhi standar internasional dari ICAO terkait keselamatan operasi penerbangan. Di tahun 2009 ini juga, Indonesia berhasil keluar dari larangan terbang bagi maskapai Indonesia yang diberlakukan oleh Uni Eropa. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerbangan Indonesia dianggap telah memenuhi standar keselamatan internasional dan mendapatkan kepercayaan kembali dari Uni Eropa. Namun demikian, upaya peningkatan keselamatan penerbangan Indonesia harus terus ditingkatkan karena sampai saat ini Indonesia bersama Angola, Liberia, Sudan, dan Korea Utara dianggap negara dengan kondisi penerbangan yang paling rawan di dunia. Untuk tahun ini saja setidaknya sudah lebih dari 10 kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia walaupun tidak ada kecelakaan yang serius seperti yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Tahun 2009 ini kecelakaan serius hanya terjadi pada penerbangan militer Indonesia (seperti tragedi hercules), bukan pada penerbangan sipil.
Selain itu, pada tahun 2009 ini juga pemerintah mencanangkan safety management system (SMS) pada seluruh operator penerbangan yang dipimpin langsung oleh pemimpin perusahaan tersebut. Semoga penerbangan Indonesia di tahun 2010 bisa terus meningkat baik dari segi keselamatan, kenyamanan, dan memberikan keuntungan bagi industri penerbangan Indonesia dan masyarakat Indonesia karena pesawat adalah sarana transportasi paling efektif bagi negara kepulauan seperti Indonesia ini.




Sabtu, 19 Desember 2009

Nasib Olahraga Indonesia Kian Suram

SEA Games ke-25 Laos resmi ditutup Jumat (18/12) malam lalu dan Thailand resmi keluar sebagai juara umum. Indonesia kembali gagal tampil sebagai yang terbaik di region Asia Tenggara ini dimana negeri tercinta hanya mampu menduduki posisi ketiga di bawah Thailand dan Vietnam yang menjadi runner-up. Walaupun posisi Indonesia membaik dibandingkan SEA Games ke-24 di Thailand 2 tahun lalu, namun hasil tersebut belum cukup menggambarkan bahwa olahraga prestasi nasional telah membaik. Justru yang terjadi adalah kebalikannya, bagaimana nasib olahraga Indonesia di ke depannya?

Indonesia hanya mengumpulkan 43 emas, 53 perak, dan 74 perunggu. Perolehan medali tersebut jauh dibawah Thailand (86 emas) dan Vietnam (83) yang terpaut sampai 40 medali emas, dua kali lipat dari perolehan medali emas yang kita miliki. Belum selesai sampai disitu, perolehan medali kita hanya unggul tipis dari Malaysia (40 medali emas) dan Filipina (38 medali emas). Itu cuma dari segi perolehan medali saja. Kemudian coba kita liat dari cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan, disitu kita akan melihat betapa fondasi olahraga Indonesia masih sangat rapuh dan tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Liat saja cabang olahraga sepakbola yang memiliki supporter paling fanatik di negeri ini dan mendapatkan perilaku istimewa dari PSSI dengan dikirimnya mereka latihan sampai ke Uruguay dengan menelan biaya yang sangat besar, namun hasilnya? NOL BESAR, Tim sepak bola Indonesia dipercundangi tim lemah Laos “dua” gol tanpa balas, dan yang lebih memalukan lagi Merah Putih harus tersingkir di penyisihan group. Bukan cuma sepak bola saja, di cabang tenis meja dan tinju, Indonesia belum bisa berbicara banyak karena sama sekali tidak mendapatkan satu keping medali emas pun. Padahal seperti yang kita ketahui, pada tahun 1990-an Indonesia pernah mendominasi di dua cabang olahraga tersebut. Yang cukup mengkhawatirkan adalah dari cabang bulutangkis dan pencak silat. Pada cabang bulutangkis, walaupun atlet-atlet putra kita masih mendominasi namun pada atlet putri justru terjadi sebaliknya, Indonesia harus rela dipermalukan Malaysia, bahkan Thailand yang selama ini bukan menjadi pesaing berat di cabang bulutangkis bisa mengalahkan Indonesia. Hal tersebut menandakan bahwa superioritas kita di cabang ini sudah memudar. Untuk cabang pencak silat, dimana seharusnya menjadi lumbung emas Indonesia, namun yang terjadi adalah Vietnam berhasil mengambil alih superioritas pencak silat dari Indonesia.

Dari gambaran diatas kemudian muncul suatu pertanyaan, apa yang salah sebenarnya pada olahraga Indonesia? Indonesia adalah negara dengan penduduk yang terbanyak dan merupakan negara terbesar di Asia Tenggara. Seharusnya tidak sulit mencari bibit-bibit unggul untuk atlet-atlet masa depan Indonesia mengingat melimpahnya SDM yang dimiliki oleh tanah air. Mengapa disaat negara-negara Asia Tenggara lainnya mulai memperlihatkan kemajuan olahraganya, namun yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya? Apa yang salah?

Kegagalan di SEA Games Laos memang lebih disebabkan karena belum mampunya Indonesia membenahi tiga cabang olahraga yang menjadi lumbung emas, yakni akuatik, atletik, dan menembak. Namun alasan mendasar bukan terletak pada belum mampunya Indonesia mendominasi tiga cabang olahraga itu tetapi mengapa Indonesia belum bisa membenahinya? Kalau dari segi SDM tidak mungkin, karena Indonesia punya banyak bibit unggul diluar sana, kalau pemerintah serius untuk menjaring bibit unggul pasti kita bisa memiliki atlet-atlet handal. Dan tentunya hal itu tidak sebegitu mudah kalau pemerintah belum bisa memperbaiki manajemen dan regenerasi atlet. Selama ini manajemen atlet sangat buruk, fasilitas tidak memadai, pesangon dan masa depan suram, ditambah model regenerasi yang lambat. Hal itulah yang perlu kita cari jalan keluarnya, bagaimana pemerintah harus bisa menjaring bibit unggul sebanyak-banyaknya dan melatih mereka, dan tentunya menjamin kesejahteraan para atlet. Pemerintah jangan beralasan lagi tidak memiliki dana, karena sebenarnya bisa memberdayakan swasta untuk membantu pemerintah, tergantung bagaimana pemerintah bisa mengajak swasta untuk bekerja sama. Indonesia seharusnya bisa mencontoh Vietnam, dari negeri yang tidak diunggulkan di era 1990-an namun saat ini menjadi kekuatan superior baru di kawasan. Vietnam berhasil karena seriusnya pemerintah Vietnam melakukan pembenahan dan peningkatan olahraga di negerinya. Indonesia harus segera bangkit dari keterpurukan, sebagai negara terbesar dari segi jumlah penduduk dan wilayah serta ekonomi (Indonesia adalah satu-satunya negara anggota G20 dari kawasan Asia Tenggara) harus menunjukkan superioritasnya di kawasan, tidak hanya secara politik dan ekonomi, namun dari soft-powernya yakni olahraga sehingga kekuatan Indonesia di kawasan maupun pada level internasional tetap disegani dan diperhitungkan. Bangkitlah Indonesiaku...

Nasib Bumi Kian Terancam: “Copenhagen Accord”, Kesepakatan Iklim Terburuk Dalam Sejarah.

KTT (COP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark sudah bisa dipastikan berakhir. Setelah dua pekan bernegosiasi, ditambah mundur selama sehari akhirnya KTT menghasilkan suatu keputusan yang dikenal dengan Copenhagen Accord. Walaupun KTT terancam deadlock karena negara-negara Annex 1 tidak menemukan kesepakatan dengan negara-negara Non Annex akhirnya COP memutuskan sebuah draft keputusan yang mencatat (take note) dan melampirkan `Copenhagen Accord`, serta disebutkan negara-negara yang memprakarsai dan mendukung. Ya walaupun istilah mencatat atau take note yang diputuskan dalam sidang merupakan salah satu tahap terendah dalam sebuah keputusan, di bawah perjanjian (treaty) atau kesepakatan (agreement), namun itu lebih baik dibandingkan tidak terjadi kesepakatan sekalipun.

Perjanjian terancam mengalami kebuntuan ketika Amerika Serikat tidak menemukan kata sepakat dengan Cina mengenai pengurangan emisi-nya. Kedua negara sama-sama melakukan strategi contending dalam perundingan. Cina enggan menurunkan emisinya di sela-sela perundingan, begitupun dengan Amerika Serikat. Sikap kedua negara wajar dilakukan mengingat kepentingan nasional kedua negara karena saat ini Cina merupakan negara industri yang mengalami pertumbuhan yang tercepat di dunia, dan Amerika Serikat yang notabene merupakan negera industri maju.

Keputusan Kopenhagen atau Copenhagen Accord tidak mengikat secara hukum negara-negara maju untuk menurunkan emisi dalam jumlah besar, seperti permintaan yang muncul selama negosiasi. Keputusan Kopenhagen diambil untuk menghindari konferensi tidak menghasilkan apapun. Keputusan ini tidak mencapai keputusan yang mengikat secara hukum (legally binding agreement) tapi hanya berupa keputusan (decision) yang merupakan hasil paling lemah dalam sebuah konferensi multilateral. Walaupun Draft keputusan COP tersebut lebih baik dibandingkan "Bali Action Plan" sebagai hasil COP ke-13 2007, yaitu telah menyebutkan angka berupa penanganan dampak perubahan iklim harus bisa menahan temperatur global dibawah dua derajat celcius pada 2020 dan jumlah sumber dana sampai 100 miliar dolar AS pada 2020 untuk penanganan dampak perubahan iklim, namun keputusan ini menandakan bahwa rejim tidak bisa memaksakan negara-negara maju untuk menurunkan emisi dalam jumlah besar sehingga sangat dikhawatirkan bahwa negara-negara maju dengan mudahnya akan defect dalam kasus perubahan iklim karena tidak ada ketentuan hukum di dalamnya, yang bisa mengancam nasib bumi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Hal itu gampang terjadi karena sifat negara yang sangat realis untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Bumi kita tidak bisa menunggu lama lagi, kita tidak bisa berdiam diri lagi, walaupun kita memerlukan sistem internasional untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim, namun aksi individu setiap masyarakat internasional dengan hidup dengan gaya ramah lingkungan setidaknya bisa memberikan kontribusi untuk mempertahankan bumi sampai ditemukan kata sepakat oleh 194 negara di dunia untuk menghasilkan keputusan yang jelas dan mengikat untuk menyelematkan bumi, mudah-mudaha bisa terealisasi di Korea tahun 2012. Ayo Selamatkan Bumi Kita.