Ekolabel: ”Itikad Baik” atau Ancaman bagi Produk Perkayuan Indonesia.
”Sebuah Kondisi yang Dilematis bagi Indonesia"
Di antara isu-isu mengenai lingkungan hidup, ekolabel memang kurang populer dibandingkan pemanasan global atau kerusakan ozon misalnya. Namun sebenarnya ekolabel menempati posisi penting mengingat ini berkaitan tidak hanya dari sisi lingkungan hidup saja melainkan juga berhubungan dengan standard baru dalam perdagangan internasional dan pembangunan berkelanjutan.
Ekolabel adalah sebuah label pada produk yang menunjukkan bahwa produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, sertifikat ekolabel dapat membantu konsumen memilih produk-produk yang ramah lingkungan. Untuk produk yang bahan bakunya berasal dari sumber daya alam (SDA), sertifikat ekolabel menunjukkan produk tersebut benar-benar berasal dari SDA yang dikelola secara lestari.
Indonesia mulai menerapkan ekolabel pada tahun 1994 sebagai inisiatif pemerintah atau government driven yang merupakan komitmen politik dalam mengahadapi isu lingkungan hidup guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Namun banyak asumsi yang menyatakan bahwa ekolabel adalah sebuah kebijakan Negara-maju untuk mendikte kebijakan Negara-negara berkembang dan sebuah alat proteksionis guna melindungi produk-produk dalam negerinya dari “serangan” produk-produk ekspor Negara-negara berkembang.
Ekolabel diterapkan oleh Negara-negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang yang notabene merupakan Negara-negara tujuan ekspor produk perkayuan Indonesia. Hal itu dikarenakan memang masyarakat Eropa, Amerika Serikat, maupun Jepang sedang memusatkan perhatiannya ke masalah lingkungan hidup, termasuk memberikan perhatian lebih ke isu hutan di Indonesia yang dinilai menghasilkan produk dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Pembeli produk mebel dan kerajinan berbahan baku kayu saat ini meminta agar ada jaminan agar setiap hasil hutan, termasuk produk mebel Indonesia tidak dihasilkan dengan cara yang mengancam kelestarian hutan, dan hal itu antara lain dapat ditunjukkan dalam bentuk sertifikat ekolabel. Atas alasan ini, jaminan akan pemanfaatan hutan yang tetap menjaga kelestariannya menjadi amat penting. Di awal dasawarsa 90-an, ekspor migas yang dulu diandalkan telah turun 30 persen, bahkan diperkirakan turun sampai 20 persen dari total penerimaan negara. Berdasarkan fakta di atas, Indonesia harus memacu ekspor nonmigas untuk menutupi kerugian dari ekspor migas, termasuk juga di sini adalah hasil-hasil hutan sebagai produk unggulan. Sehingga faktor itulah yang menjadi salah alasan pemerintah Indonesia guna menerapkan skema ekolabel dengan tujuan tidak kehilangan pangsa pasar internasional akibat kebijakan Negara-negara maju tersebut sehingga pemasukan devisa pun tidak berkurang.
“Itikad Baik” Ekolabel
Alasan lain pemerintah Indonesia menerapkan skema ekolabel adalah karena tujuan ekolabel sangat baik. Saya akan menulis lebih jauh apa “itikad baik” ekolabel bagi produk perkayuan Indonesia. Produk ekolabel adalah produk ramah lingkungan yang mempertimbangkan mulai dari bahan baku yang legal dan dikelola secara lestari, pengelolaan aspek lingkungan sesuai dengan ambang batas yang ditentukan, pengelolaan limbah dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga ini berpengaruh pada pelestarian hutan sebagai sumber bahan baku, dan akhirnya lingkungan secara keseluruhan . Ekolabel diharapkan akan menjaga ketersediaan bahan baku produk perkayuan Indonesia itu sendiri untuk masa mendatang . Sebagaimana diketahui, ekolabel menjamin adanya upaya penanaman kembali pohon-pohon yang telah ditebang yang digunakan dalam memproduksi produk perkayuan Indonesia. Ekolabel juga dimanfaatkan sebagai sarana guna mengurangi kasus pembalakan liar di Indonesia sehingga cadangan bahan baku untuk produk perkayuan Indonesia terjamin di masa mendatang.
Ekolabel juga akan membawa dampak terhadap unit manajemen Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sertifikat ekolabel akan memperkuat posisi HPH (Hak Penguasaan Hutan) baik didalam pasar dalam negeri maupun pasar internasional karena dengan sertifikat tersebut maka “posisi baik” dari unit manajemen tidak hanya disampaikan secara subjektif oleh dirinya sendiri melainkan juga dari pihak luar . Oleh sebab itu, produk-produk perkayuan dari unit manajemen HPH tersebut akan mendapat citra yang positif dari para konsumen.
Selain itu, Ekolabel akan menjamin produk-produk perkayuan Indonesia tidak akan kehilangan pasar internasional dan harga jual produk juga akan lebih tinggi. Sebagaimana diketahui, Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan guna melarang masuknya produk-produk perkayuan yang tidak bersertifikat ekolabel. Selain itu, para konsumen di Negara-negara maju juga tidak mau membeli produk-produk yang tidak bersertifikat sehingga dapat menyebabkan kalahnya dan tidak akan lakunya produk-produk perkayuan Indonesia di pasar internasional. Dengan adanya sertifikat ekolabel tersebut, akan menjamin produk-produk perkayuan Indonesia untuk dapat bersaing di pasaran internasional karena ekolabel akan memperbaiki citra buruk yang melekat pada Indonesia, karena masyarakat internasional melihat bahwa produk-produk yang dihasilkan dari Indonesia tidak ramah lingkungan.
Ancaman akibat Ekolabel
Selain Ekolabel memiliki “itikad baik” bagi produk-produk perkayuan Indonesia, Ekolabel juga menaruh ancaman bagi produk-produk perkayuan Indonesia. Dengan adanya ekolabel, akan berdampak pada usaha kecil dan menengah yang tidak mampu membayar biaya sertifikasi yang sangat mahal. Oleh sebab itu, ekolabel akan memukul industri perkayuan yang dalam skala kecil dan menengah sehingga produk-produk perkayuan yang dihasilkan tidak akan mampu bersaing dipasaran.
Ekolabel juga dianggap sebagai suatu ancaman ekspor produk-produk perkayuan Indonesia. Banyak asumsi yang menyatakan bahwa ekolabel dianggap sebagai hambatan perdagangan terselubung yang bersifat diskriminatif, karena hanya produk hutan tropis saja yang terkena . Sebagaimana diketahui, di Indonesia sendiri baru sedikit unit HPH yang sudah tersertifikasi ekolabel dikarenakan biaya sertifikasi yang sangat mahal, sehingga dengan diterapkannya ekolabel akan mempengaruhi ekspor produk perkayuan Indonesia dan tentu saja akan berdampak pada penurunan devisa. Selama ini, Negara-negara maju tujuan ekspor utama produk-produk perkayuan Indonesia seperti Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat telah memberlakukan kebijakan ekolabel tersebut sehingga ekspor produk-produk perkayuan Indonesia akan terancam dan akan berdampak pada para pengusaha. Pengusaha akan dihadapkan pada situasi gulung-tikar yang mengancam industrinya.
Dilematis Indonesia
Kedua kondisi antara “itikad baik” dan ancaman yang diberikan pada ekolabel ternyata membawa Indonesia pada situasi yang dilematis. Indonesia mempunyai dua pilihan dilematis. Pertama, Indonesia bisa menolak ekolabel. Namun resikonya, ekspor Indonesia lama-kelamaan akan kehilangan pangsa pasar di negara maju dan akan berdampak pada perekonomian Indonesia yang sangat mengandalkan produk-produk hasil hutan setelah menurunnya ekspor Migas. Kedua, secara bertahap mempersiapkan masa transisi untuk memenuhi sertifikasi ekolabel tersebut. Salah satu ancaman terbesar terhadap ekspor produk SDA justru bersumber dari diabaikannya prinsip-prinsip kelestarian masa lalu. Akibatnya, suplai bahan baku menjadi tidak langgeng. Masalah kelangkaan bahan baku yang dihadapi industri kayu saat ini merupakan contoh yang paling konkret. Seperti diketahui, karena adanya miskoordinasi antara pengembangan industri dengan penyediaan bahan baku, industri kayu menjadi salah satu pendorong utama over exploitation hutan di Indonesia. Akibatnya, potensi produk lestari hutan alam turun drastis dari 22,5 juta m3/tahun menjadi 17 juta m3/tahun. Padahal, kebutuhan bahan baku rata-rata dari industri pengolahan kayu saat ini mencapai 63,5 juta m3/tahun, termasuk industri kayu gergajian, kayu lapis, pulp, block, woodchips, sumpit pensil dan korek api. Jadi, tidak mengherankan kalau industri tersebut menghadapi kelangkaan bahan baku yang sangat serius. Memang masih ada sumber kayu lainnya, seperti izin pemanfaatan kayu (IPK) sekitar 7,5 juta m3 dan hutan rakyat 2 juta m3/tahun. Namun, jika mau jujur jumlah sebesar itu masih jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan.
Selain itu, sertifikasi ini mencerminkan niat baik dari konsumen internasional bahwa mereka tidak mau menerima produk dengan proses yang ilegal yang juga akan berdampak pada cadangan bahan baku produk perkayuan Indonesia. Dapat diartikan disini mereka sangat mendukung pelestarian hutan di negara berkembang sebagai pemilik faktor produksi terbesar. Namun di sisi lain, skema sertifikasi ini tidak ramah industri menengah. Selain prosedur berbelit dan biaya tinggi (+/- US$ 5000), tidak ada jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan nilai dagang mereka secara remarkably. Belum lagi konsumen yang menginginkan harga tetap murah namun berkualitas. Dengan kata lain, mereka ingin produk tersebut bersertifikat, namun tak mau membayar lebih mahal sebagai konsekuensi dari mekanisme sertifikasi tersebut. Sebagaimana diketahui, walaupun pemerintah serius dalam menerapkan ekolabel namun para pengusaha Indonesia belum siap menerapkannya.
Dalam sertifikasi ekolabel, ada dua prinsip yang dipegang teguh.salah satunya, sertifikasi ini bersifat sukarela, sesuai dengan kebutuhan pasar (market-based approach). Artinya, sertifikasi ekolabel tidak boleh diwajibkan oleh pemerintah, walaupun kelestarian sumber daya alamnya sendiri perlu menjadi kebijakan pemerintah. Disini juga lah letak dilematis pemerintah Indonesia. Sertifikat tidak diwajibkan tetapi selama ini Indonesia mengandalkan produk-produk kayu demi pemasukan devisa guna pembangunan ekonominya. Apabila Indonesia tidak mewajibkan sertifikasi ekolabel ditengah tuntutan masyarakat internasional yang menuntut produk bersertifikat, apakah ekspor Indonesia dapat dipertahankan? Selain itu apakah “itikad baik” skema ekolabel baik terjaminnya cadangan bahan baku produk perkayuan dimasa depan maupun terjaminnya produk-produk perkayuan untuk bersaing di pasar internasional guna pemasukan devisa Negara dapat bermanfaat bagi produk-produk perkayuan Indonesia apabila Indonesia saja tidak mewajibkannya. Disatu sisi, apabila Indonesia mewajibkannya, bukan tidak mungkin para pengusaha merasa terbebani mengingat mahalnya biaya sertifikasi ekolabel ditambah tuntutan yang produk yang tersertifikasi namun murah. Dengan terbebaninya para pengusaha, maka akan membawa dampak pada kegiatan produksi mereka sehingga perusahaan tidak akan maksimal dalam berproduksi dan akan juga berdampak pada jumlah hasil produk-produk ekspor perkayuan Indonesia. Dan tentu saja hal itu juga berdampak pada pemasukan Negara dari sektor ekspor produk-produk perkayuan Indonesia.
Sumber Referensi
Antara Kelestarian Hutan dan Perdagangan Internasional. Kompas Cyber Media. Senin, 4 September 2000.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0009/04/ekonomi/anta15.htm
IASA] Beralih ke Produk Ekolabel. Budi Daryono. 26 Juli 2006.
http://www.mail-archive.com/iasa@yahoogroups.com/msg00451.html
Ekolabel: Antara niat baik dan ancaman. Kompas Cyber Media. 19 Agustus 2004.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/19/furnitur/1212303.htm
Produk Hutan Indonesia Bersertifikat Ekolabel Perkuat HHP. 30 Agustus 2007. Antara News.
http://www.antara.co.id/arc/2007/8/30/produk-hutan-indonesia-bersertifikat-ekolabel-perkuat-hph/
Sertifikat ekolabel ancam ekspor Indonesia. 12 Maret 2007. Sinar Harapan.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0203/12/eko05.html
Ekolabel, Antara Niat Baik dan Ancaman.19 Agustus 2004. Kompas Cyber Media.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/19/furnitur/1212303.htm
Ekolabel Bukan Karena Tekanan. 13 Desember 1994.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1994/12/13/0003.html
Sabtu, 10 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
ya ampyun fariz... kamu nulis blog ato paper sih... hahahaha xD
@netha... kayaknya emang paper dia masukin.. tapi jangan Lupa riz
dikasih Tanda tangan kalau ini karyanya Fhariz gitu.. nanti di copipas loh...
Posting Komentar